Jalan Raya Bojongsari No.55 pend.ips.fitk@apps.uinjkt.ac.id
Serba Serbi IPS

Struktur Sosial dan Pola Anomie: Antara Tujuan dan Norma Kelembagaan

Robert K. Merton membahas bagaimana pola tujuan budaya (cultural goals) dan norma kelembagaan (institutional norms) dalam masyarakat berinteraksi dan menciptakan tekanan yang bisa menghasilkan perilaku menyimpang.  

Cultural goals adalah tujuan yang dianggap berharga dan diinginkan secara sosial dalam masyarakat. Merton menyoroti bahwa dalam masyarakat modern, salah satu tujuan utama yang sering dihargai adalah kesuksesan ekonomi atau kekayaan. Masyarakat secara luas menetapkan tujuan ini sebagai sesuatu yang harus dicapai oleh setiap individu untuk mendapatkan status, kebahagiaan, dan rasa hormat dalam lingkungan sosial mereka. Namun, tidak semua orang memiliki akses yang sama atau peluang yang adil untuk mencapai tujuan ini melalui cara-cara yang sah. 

Institutional norms merujuk pada cara-cara sah yang diakui secara sosial untuk mencapai tujuan budaya tersebut. Norma kelembagaan mencakup aturan, hukum, prosedur, dan nilai yang menegaskan cara-cara apa saja yang dianggap sah untuk mencapai tujuan budaya dalam masyarakat. Contohnya, pendidikan, kerja keras, dan karir yang stabil sering kali dipandang sebagai cara sah untuk mencapai kesuksesan material dalam masyarakat. Namun, ketika akses terhadap cara-cara sah ini tidak sama bagi semua orang (misalnya, karena adanya ketidaksetaraan ekonomi atau sosial), ketidaksesuaian antara tujuan dan norma ini dapat memicu ketegangan.

Ketika ada ketidaksesuaian antara tujuan budaya (seperti kekayaan atau kesuksesan) dan norma kelembagaan yang tersedia, terjadi apa yang disebut Merton sebagai “strain” atau ketegangan sosial. Ketegangan ini muncul karena masyarakat menekankan pentingnya mencapai tujuan tertentu, tetapi tidak semua individu dapat mencapainya melalui cara yang sah. Sebagai respons terhadap ketidakselarasan ini, Merton menjelaskan lima bentuk adaptasi individu terhadap struktur sosial yang menekan, yaitu:

1. Konformitas: Mengikuti norma kelembagaan yang sah meskipun mungkin sulit mencapai tujuan.

2. Inovasi: Mengejar tujuan dengan cara tidak sah ketika cara yang sah tidak efektif atau tidak tersedia.

3. Ritualisme: Menerima norma sah tanpa fokus pada tujuan budaya utama.

4. Retretisme: Menolak baik tujuan budaya maupun norma kelembagaan, sering kali dengan cara mengisolasi diri.

5. Rebellion: Menolak tujuan dan norma yang ada dan berusaha membentuk sistem yang baru.

 

Konformitas (Conformity): Dalam kondisi anomie, individu yang memilih untuk tetap konformis akan menjalani kehidupan sesuai dengan norma sosial tanpa menyimpang. Mereka menerima baik tujuan sosial (misalnya, kesuksesan ekonomi) maupun cara yang sah untuk mencapainya (seperti pendidikan dan kerja keras).

Inovasi (Innovation): Inovasi sering terjadi dalam kondisi anomie, di mana akses terhadap cara yang sah untuk mencapai tujuan (seperti pendidikan dan pekerjaan) menjadi sulit atau tidak memadai. Individu yang merasa terhalang oleh norma kelembagaan sering mencari jalan pintas atau cara yang menyimpang untuk mencapai tujuan tersebut.

Ritualisme (Ritualism): Dalam kondisi anomie, individu yang beradaptasi secara ritualis akan meninggalkan atau meremehkan tujuan sosial besar, seperti kekayaan atau kesuksesan. Mereka tetap mengikuti aturan secara kaku tetapi tanpa ambisi mencapai tujuan yang lebih tinggi. Anomie membuat mereka merasa bahwa kesuksesan yang ditekankan masyarakat tidak relevan bagi mereka.

Retretisme (Retreatism): Dalam kondisi anomie, beberapa individu merasa terlalu terasing atau tertekan untuk berpartisipasi dalam tujuan dan cara sosial yang diakui. Mereka memilih untuk mundur dari masyarakat dan menjalani hidup yang terpisah dari norma sosial.

Pemberontakan (Rebellion): Dalam kondisi anomie yang ekstrem, beberapa individu merasa bahwa tujuan dan cara yang ada dalam masyarakat tidak hanya tidak relevan, tetapi juga merugikan. Mereka mungkin berusaha mengubah tatanan sosial dengan memperkenalkan nilai-nilai atau norma baru yang mereka anggap lebih adil atau bermakna.

Oleh: Farkhan Abdurochim Alfarauq